Translate This Blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google
EksisPTC

Kamis, 26 Agustus 2010

Siapa sih Yang Mendirikan Borobudur

Untuk sekadar mengingatkan kembali bagaimana pentingnya kita
menghargai sejarah dan benda-benda peninggalan berupa artefak-artefak,
candi, prasasti, atau yang lainnya, marilah kita melihat bagaimana
Candi Borobudur direkonstruksi sehingga menjadi bangunan yang megah
dan termasuk tujuh keajaiban dunia. Untuk mengawalinya kita perlu
melihat bagaimana nama dan Candi Borobudur diketahui.

Hutan belukar

Sekira tiga ratus tahun lampau, tempat candi ini berada masih berupa
hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur.
Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah
Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan
tentang biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi
(1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap
Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi
hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang
seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang
berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.
Kemudian pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari
bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu
berukir. Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang
pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah
dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk,
bangunan candi semakin jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825.
Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa
candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.
Mengenai nama Borobudur sendiri banyak ahli purbakala yang
menafsirkannya, di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa
kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal
dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata
Budur merujuk pada nama tempat. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr.
WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di
atas sebuah bukit. Sedangkan Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada
Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini,
yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824
Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa
Indra. Dalam prasasti didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang
berarti tempat pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya.
Bagaimana pergeseran kata itu terjadi menjadi Borobudur? Hal ini
terjadi karena faktor pengucapan masyarakat setempat.
Dalam pelajaran sejarah, disebutkan bahwa candi Borobudur dibuat pada
masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja
Samarotthungga. Sedangkan yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan
masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada
tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini
dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama
Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir
bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis
Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja
Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh
putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu
Pramodhawardhani.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur berupa reruntuhan seperti halnya
artefak-artefak candi yang baru ditemukan sekarang ini. Ketika kita
mengunjungi Borobudur dan menikmati keindahan alam sekitarnya dari
atas puncak candi, kadang kita tidak pernah berpikir tentang siapa
yang berjasa membangun kembali Candi Borobudur menjadi bangunan yang
megah dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia ini.
Pemugaran selanjutnya, setelah oleh Cornelius pada masa Raffles maupun
Residen Hatmann, dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp yang
membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan
zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli
teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu, tetapi
kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi
Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang
dikandungnya. Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama
beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat
susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van Erp
menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah
dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang
ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada
kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana. Oleh
sebab itu, para pemugar harus memiliki sekelumit sejarah agama ini di
Indonesia. Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah
yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi
kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang
masih satu rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi
Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.

Materi candi

Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat
di Kamboja. Borobudur mirip bangunan piramida Cheops di Gizeh Mesir.
Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3
batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X
10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan
berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur
dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu
rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel
masing-masing 2 meter. Jadi kalau rangkaian relief itu dibentangkan
maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada
sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10
berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi
berjumlah 504 buah. Sedangkan, tinggi candi dari permukaan tanah
sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5
meter setelah tersambar petir.
Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert
von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata
budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam
Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa
Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa
bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah
satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat.
Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi
Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak
seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah
stupa.
Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di
Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida.
Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan
di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Dan itulah salah satu
kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di
Indonesia.
Melihat kemegahan bangunan Candi Borobudur saat ini dan candi-candi
lainnya di Indonesia telah memberikan pengetahuan yang besar tentang
peradaban bangsa Indonesia. Berbagai ilmu pengetahuan terlibat dalam
usaha rekonstruksi Candi Borobudur yang dilakukan oleh Teodhorus van
Erp. Kita patut menghargai usaha-usahanya mengingat berbagai kendala
dan kesulitan yang dihadapi dalam membangun kembali candi ini.
Sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri
seputar berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu,
cara mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, apakah
batu-batu itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki atau masih berupa
bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu itu
sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu
itu dari dasar halaman candi sampai ke puncak, alat derek apakah yang
dipergunakan? Mengingat pada masa itu belum ada gambar biru (blue
print), lalu dengan sarana apakah mereka itu kalau hendak merundingkan
langkah-langkah pengerjaan yang harus dilakukan, dalam hal gambar
relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau
batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari
bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke
atas? Dan masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmu
pengetahuan, terutama tentang ditemukannya ruang pada stupa induk
candi.

Restorasi di tahun 1974-1983

Harta karun
Pemugaran selanjutnya dilakukan pada tahun 1973-1983, selang 70 tahun
dari pemugaran yang dilakukan van Erp. Pemugaran ini dimaksudkan tiada
lain sebagai upaya melestarikan budaya yang tak ternilai harganya.
Inilah "harta karun" yang sesungguhnya tak bisa dihargai dengan uang
apalagi dijual untuk membayar utang. Kesadaran masyarakat untuk ikut
mengamankan bangunan candi sangat diharapkan termasuk juga dari para
wisatawan.
Penggalian, penelitian, dan rencana pemugaran terhadap candi-candi
atau benda-benda bersejarah lainnya yang baru-baru ini ditemukan
tentunya membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pemugaran
bangunan budaya dan kepurbakalaan tidak semudah pembangunan gedung
modern. Setiap bentuk bangunan budaya memiliki makna yang khusus dan
hal ini tidak dapat diabaikan di dalam pemugaran bangunan kuno
tersebut. Oleh sebab itu butuh dukungan dari berbagai pihak, baik dari
dalam maupun dari luar negeri. Upaya membangun kembali sebuah
simbol-simbol peradaban yang pernah hilang berarti semakin membuka
mata-hati kita tentang sejarah peradaban manusia Indonesia yang kaya
dengan ilmu pengetahuan dan budaya. Dengan demikian, kita akan menjadi
manusia berbudaya yang mampu menghargai budayanya sendiri sebagai
bentuk jati diri dan identitas bangsa yang mandiri.
Akhirnya, kita harus membangkitkan kembali gairah menghargai
benda-benda cagar budaya yang bukan hanya menjadi kekayaan masyarakat
dan bangsa, melainkan juga menjadi kekayaan ilmu pengetahuan yang akan
terus mengungkap fakta-fakta sejarah itu. Menikmati keindahan dan
menjaga kelestariannya merupakan salah satu bentuk kepedulian yang
sangat berarti. Tentunya peran lembaga yang berkaitan dengan
perlindungan benda-benda cagar budaya perlu ditingkatkan dengan
memberikan pemahaman, pengertian dan sosialisasi tentang pentingnya
menjaga dan melestarikan benda-benda tersebut.
Perlindungan hukum pun harus ditegakkan secara konsisten sehingga
tidak terjadi lagi kepincangan-kepincangan hukum yang menyisakan rasa
ketidakadilan bagi masyarakat, seperti halnya kasus peledakan Candi
Borobudur pada 1983.***
Tetap menjadi suatu misteri,sekedar tambahan candi Borobudur adalah
candi Buddha terbesar di dunia dengan tinggi 34,5 meter dan luas
bangunan 123 x 123 meter. Di dirikan di atas sebuah bukit yang
terletak kira-kira 40 km di barat daya Yogyakarta, 7 km di selatan
Magelang, Jawa Tengah.
Candi Borobudur dibangun oleh Dinasti Sailendra antara tahun 750 dan
842 Masehi. Candi Buddha ini kemungkinan besar ditinggalkan sekitar
satu abad setalah dibangun karena pusat kerajaan pada waktu itu
berpindah ke Jawa Timur.
Sir Thomas Stanford Raffles menemukan Borobudur pada tahun 1814 dalam
kondisi rusak dan memerintahkan supaya situs tersebut dibersihkan dan
dipelajari secara menyeluruh. Proyek restorasi Borobudur secara
besar-besaran kemudian dimulai dari tahun 1905 sampai tahun 1910
dipimpin oleh Dr. Tb. van Erp. Dengan bantuan dari UNESCO, restorasi
kedua untuk menyelamatkan Borobudur dilaksanakan dari bulan Agustus
1913 sampai tahun 1983.
Namun, sampai sekarang Candi Borobudur masih menyimpan sejumlah
misteri. Sejumlah misteri itu misalnya, siapa yang merancang Candi
Borobudur, berapa jumlah orang dipekerjakan untuk membangun candi
tersebut, dari mana saja batu untuk membangun candi ? Filosofi apa
yang digunakan untuk membuat candi tersebut ? Tetapi yang pasti candi
ini merupakan aset penting bagi Indonesia di mata dunia internasional.
Kita harus bangga dan selalu menjaga kelestariannya.


0 komentar:

Posting Komentar