Tak perlu menggembar-gemborkan sudah berapa banyak kita menyumbang
orang karena mungkin belum sepadan dengan apa yang sudah dilakukan
oleh Bai Fang Li. Kebanyakan dari kita menyumbang kalau sudah
kelebihan uang. Jika hidup pas-pasan keinginan menyumbang hampir tak
ada.
Bai Fang Li berbeda. Ia menjalani hidup sebagai tukang becak. Hidupnya
sederhana karena memang hanya tukang becak. Namun semangatnya tinggi.
Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia
menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin, China.
Ia hampir tak pernah beli makanan karena makanan yang ia makan lebih
banyak didapatkan dengan cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah
hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan pakaian?
Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih
layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya
untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak
mampu.
Kejadian yang Mulai Merubah Pandangan Hidupnya
Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika
usianya menginjak 74 tahun. Saat itu ia tak sengaja melihat seorang
anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan jasa untuk membantu ibu-ibu
mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat barang belanjaan, ia
mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.
Namun yang membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di
tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak
untuk mengisi perutnya. Ketika ditanya, ternyata si anak tak mau
mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan.
Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4
tahun di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai
pemulung dan orangtuanya entah di mana.
Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya
tersentuh. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim
piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh.
Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang
hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan
disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
Dalam Memberi, Bai Fang Li Tak Pernah Menuntut Apapun
Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak
pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa
saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya.
Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu
dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak
sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia
membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp
675.000.
Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000
yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru
tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun
2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru.
Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang
luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak
beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh
becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang
sangat tinggi kepada nasib orang lain yang lebih kurang beruntung dari
dirinya.
Apakah Kita yang mampu dan sehat ini bisa seperti Bai Fang Li.
0 komentar:
Posting Komentar